Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan
teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah
kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan karena logika telah
menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka
justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan.
Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada
pengetahuan”.
Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa banyak hal
yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh hukum berpikir
dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada citra atau
imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang
dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2 , dia tentu
meng-imaji-kan variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba
menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga
men-citra-kan sesuatu dalam benaknya. Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji”
merupakan proses yang melahirkan kedua teori tersebut.
Tentang kemampuan melahirkan konsep dari imaji-imaji yang dicecap, ada
sebuah konsep menarik yang diperkenalkan Sartre dalam bukunya L’imaginaire:
Psychologie phenomenogique de l’imagination (1940), yaitu tentang
“imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran
seseorang untuk merasakan apa yang disebut “pengalaman estetik”. Ketika
seseorang mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita dalam sebuah
lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan
oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata lain,
tidaklah disebut imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam sebuah lukisan
yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai
“tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.
Hans George Gadamer, dalam Philosophical Hermeneutics (1977)
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial
dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu
dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan
jika imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan
nyata manusia.
Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita peroleh
sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita cecap,
entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji yang
memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi
kegiatan merumuskan pengetahuan.
Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio sebenarnya saling
mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai
pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan
pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat
tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang tidak
dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam
pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai
evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang
dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio
membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.
Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai
momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre diatas). Jika di ranah
saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah
estetis keduanya cenderung saling menegaskan. Sebagai modus representasi dunia
dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara
rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini
akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda.
Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis
representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah
estetis, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan
“ketidaktersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman,
bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu,
maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran
kita.