Indahnya alam Indonesia berhias ragam Seni dan Budaya. Selamat Datang di Jawa Barat, mari nikmati Alam, Seni dan Budaya dalam AMAZING WEST JAVA!

9/02/2015

Sinopsis Film Dokumenter War Photographer



Poster Film War Photographer
dari en.wikipedia.org

Film dokumenter ini menggmbarkan kehidupan seorang Fotografer perang bernama James Nachtwey. Beliau adalah fotografer kelas dunia yang sudah meliput perang sejak perang di Irlandia Utara, perang Irak sampai perang Balkan. Selain itu beliau juga meliput tentang kelaparan di Afrika dan kemiskinan di Indonesia. Untuk lebih jelas, dibawah ini merupakan lokasi dimana Nachtwey mengambil gambar :
1.      Pasca perang Kosovo
2.      Kemiskinan dan kerusuhan di Jakarta, Indonesia
3.      Ramallah, di Tepi Barat
4.      Sebuah tambang belerang di Ijen, Jawa Timur, Indonesia
5.      New York City, New York, Amerika
6.      Hamburg, Jerman
7.      Thokoza, Afrika Selatan
Film dokumenter ini diawali dengan quote Robert Capa, seorang fotografer perang yang meliput Perang Dunia II “If you picture aren’t good enough, you’re not close enough”. Sebuah quote yang menujukan bahwa untuk menjadi seseorang yang meliput perang maka harus punya nyali untuk membuat hal itu menjadi “berbicara”, menjadi penyambung cerita mereka yang menghadapi perang. Dan ternyata membuat sebuah foto bicara banyak tentang perang itu tidak mudah. Selain Nachtwey, ada juga wawancara dengan Christine Amanpour, seorang jurnalis senior CNN. Disini terlihat bagaimana Amanpour yang sudah sekian lama terjun meliput perang pun sampai saat ini masih tidak percaya bahwa manusia bisa begitu sangat kejam dengan sesamanya di dalam perang.  Ini terlihat ketika dia meliput korban Cleaning Etnic di Bosnia.
Hal yang paling menarik adalah ketika Nachtwey bercerita tentang pengalamannya meliput perang di Rwanda. Baginya perang Rwanda adalah perang paling brutal yang pernah diliput olehnya. Dalam perang ini suku Hutu melakukan ”pembersihan” suku Tutsi, dimana pembersihan itu bukan hanya dilakukan di tempat khusus tapi juga di jalan-jalan dan rumah ibadat, gilanya lagi mayat-mayat korban dibiarkan di tempat tersebut sampai menjadi tengkorak. Alat pembunuhannya juga termasuk menyeramkan, yakni dengan menggunakan parang. Tak lama setelah itu, suku Hutu harus terusir dari Rwanda, sebagian dari mereka terpaksa mengungsi ke Zaire. Di tempat pengungsian, mereka terkena wabah kolera. Sehingga hampir sebagian besar pengungsi meninggal dunia. Saking banyaknya yang meninggal, sampai-sampai pihak berwenang harus menggunakan traktor untuk memindahkan mayat-mayat tersebut. Menurut Nachtwey, beliau tahu bahwa dari wajah-wajah yang di foto olehnya pasti ada yang melakukan pembunuhan massal kepada suku Tutsi, jadi ini seperti menaiki express elevator to hell bagi mereka.
Selain perang, Nachtwey juga meliput tentang Gerakan Reformasi 1998 di Jakarta. Hal tersebut menunjukkan bagaimana beliau menjadi saksi mata melalui lensa kameranya tentang kekejaman pihak kepolisian, kerusuhan Mei 1998 sampai detik-detik menjelang jatuhnya Rezim Soeharto. Disini juga Nachtwey mengalami peperangan batin dimana dia meliput seoarang pria yang dikeroyok hingga hampir saja digorok, akhirnya beliau memohon kepada pengeroyok agar melepaskan pria tersebut. Setelah Reformasi, Nachtwey kembali meliput Jakarta. Beliau memilih memotret kemiskinan. Menurut beliau, Indonesia selalu menyatakan peningkatan perkembangan ekonomi mereka, tetapi hal itu hanya dirasakan sebagian kecil masyarakat Indonesia sedangkan masyarakat miskin tidak pernah merasakannya. Disini Nachtwey meliput para pemulung di sebuah TPA, Tempat Pembuangan Akhir sampah (tanpa penutup hidung), dia berbaur dengan para pemulung berkenalan dengan mereka dan ikut dikejar-kejar buldozer. Lalu dia meliput satu keluarga pengemis yang tinggal di antara dua rel kereta api dan kepala keluarganya hanya mempunyai satu tangan dan satu kaki. Lalu setelah itu beliau meliput ke Kawah Ijen, menemui para penambang belerang disana.
Intinya, film ini menyajikan sesuatu yang dapat dirasakan oleh penonton langsung dalam kaca film. Hal-hal yang terjadi begitu nyata mengenai peperangan ataupun kerusuhan dan fenomena kemiskinan yang terjadi. Sang fotografer perang sendiri memang telah teruji mental maupun fisiknya dalam menjalankan pekerjaannya sebagai jurnalis perang dimana ia dituntut untuk menangkap gambar dengan kaca bidiknya untuk menyajikan film yang “berbicara”.

No comments: