Poster Film War Photographer dari en.wikipedia.org |
Film dokumenter ini menggmbarkan
kehidupan seorang Fotografer perang bernama James Nachtwey. Beliau adalah
fotografer kelas dunia yang sudah meliput perang sejak perang di Irlandia
Utara, perang Irak sampai perang Balkan. Selain itu beliau juga meliput tentang
kelaparan di Afrika dan kemiskinan di Indonesia. Untuk lebih jelas, dibawah
ini merupakan lokasi dimana Nachtwey mengambil gambar :
1. Pasca
perang Kosovo
2. Kemiskinan
dan kerusuhan di Jakarta, Indonesia
3. Ramallah,
di Tepi Barat
4. Sebuah
tambang belerang di Ijen, Jawa Timur, Indonesia
5. New York
City, New York, Amerika
6. Hamburg,
Jerman
7. Thokoza,
Afrika Selatan
Film dokumenter ini diawali
dengan quote Robert Capa, seorang
fotografer perang yang meliput Perang Dunia II “If you picture aren’t good enough, you’re not close enough”. Sebuah
quote yang menujukan bahwa untuk
menjadi seseorang yang meliput perang maka harus punya nyali untuk membuat hal
itu menjadi “berbicara”, menjadi penyambung cerita mereka yang menghadapi
perang. Dan ternyata membuat sebuah foto bicara banyak tentang perang itu tidak
mudah. Selain Nachtwey, ada juga wawancara dengan Christine Amanpour, seorang
jurnalis senior CNN. Disini terlihat bagaimana Amanpour yang sudah sekian lama
terjun meliput perang pun sampai saat ini masih tidak percaya bahwa manusia
bisa begitu sangat kejam dengan sesamanya di dalam perang. Ini terlihat
ketika dia meliput korban Cleaning Etnic
di Bosnia.
Hal yang paling menarik adalah
ketika Nachtwey bercerita tentang pengalamannya meliput perang di Rwanda.
Baginya perang Rwanda adalah perang paling brutal yang pernah diliput olehnya.
Dalam perang ini suku Hutu melakukan ”pembersihan” suku Tutsi, dimana
pembersihan itu bukan hanya dilakukan di tempat khusus tapi juga di jalan-jalan
dan rumah ibadat, gilanya lagi mayat-mayat korban dibiarkan di tempat tersebut
sampai menjadi tengkorak. Alat pembunuhannya juga termasuk menyeramkan, yakni dengan
menggunakan parang. Tak lama setelah itu, suku Hutu harus terusir dari Rwanda,
sebagian dari mereka terpaksa mengungsi ke Zaire. Di tempat pengungsian, mereka
terkena wabah kolera. Sehingga hampir sebagian besar pengungsi meninggal dunia.
Saking banyaknya yang meninggal, sampai-sampai pihak berwenang harus
menggunakan traktor untuk memindahkan mayat-mayat tersebut. Menurut Nachtwey,
beliau tahu bahwa dari wajah-wajah yang di foto olehnya pasti ada yang
melakukan pembunuhan massal kepada suku Tutsi, jadi ini seperti menaiki express elevator to hell bagi mereka.
Selain perang, Nachtwey juga
meliput tentang Gerakan Reformasi 1998 di Jakarta. Hal tersebut menunjukkan bagaimana
beliau menjadi saksi mata melalui lensa kameranya tentang kekejaman pihak kepolisian,
kerusuhan Mei 1998 sampai detik-detik menjelang jatuhnya Rezim Soeharto. Disini
juga Nachtwey mengalami peperangan batin dimana dia meliput seoarang pria yang dikeroyok hingga hampir saja digorok, akhirnya beliau memohon
kepada pengeroyok agar melepaskan pria tersebut. Setelah Reformasi, Nachtwey
kembali meliput Jakarta. Beliau memilih memotret kemiskinan. Menurut beliau, Indonesia
selalu menyatakan peningkatan perkembangan ekonomi mereka, tetapi hal itu hanya
dirasakan sebagian kecil masyarakat Indonesia sedangkan masyarakat miskin tidak
pernah merasakannya. Disini Nachtwey meliput para pemulung di sebuah TPA, Tempat Pembuangan Akhir sampah (tanpa
penutup hidung), dia berbaur dengan para pemulung berkenalan dengan mereka dan
ikut dikejar-kejar buldozer. Lalu dia meliput satu keluarga pengemis yang
tinggal di antara dua rel kereta api dan kepala keluarganya hanya mempunyai
satu tangan dan satu kaki. Lalu setelah itu beliau meliput ke Kawah Ijen,
menemui para penambang belerang disana.
Intinya, film ini menyajikan
sesuatu yang dapat dirasakan oleh penonton langsung dalam kaca film. Hal-hal
yang terjadi begitu nyata mengenai peperangan ataupun kerusuhan dan fenomena
kemiskinan yang terjadi. Sang fotografer perang sendiri memang telah teruji
mental maupun fisiknya dalam menjalankan pekerjaannya sebagai jurnalis perang
dimana ia dituntut untuk menangkap gambar dengan kaca bidiknya untuk menyajikan
film yang “berbicara”.
No comments:
Post a Comment