Indahnya alam Indonesia berhias ragam Seni dan Budaya. Selamat Datang di Jawa Barat, mari nikmati Alam, Seni dan Budaya dalam AMAZING WEST JAVA!

2/24/2013

PERAN IMAJINASI


Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan. Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”.
Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa banyak hal yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh hukum berpikir dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada citra atau imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2 , dia tentu meng-imaji-kan variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga men-citra-kan sesuatu dalam benaknya. Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji” merupakan proses yang melahirkan kedua teori tersebut.
Tentang kemampuan melahirkan konsep dari imaji-imaji yang dicecap, ada sebuah konsep menarik yang diperkenalkan Sartre dalam bukunya L’imaginaire: Psychologie phenomenogique de l’imagination (1940), yaitu tentang “imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran seseorang untuk merasakan apa yang disebut “pengalaman estetik”. Ketika seseorang mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita dalam sebuah lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata lain, tidaklah disebut imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam sebuah lukisan yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai “tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.
Hans George Gadamer, dalam Philosophical Hermeneutics (1977) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan jika imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan nyata manusia.
Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita peroleh sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita cecap, entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji yang memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi kegiatan merumuskan pengetahuan.
Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.
Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre diatas). Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling menegaskan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda.
Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.

No comments: