Indahnya alam Indonesia berhias ragam Seni dan Budaya. Selamat Datang di Jawa Barat, mari nikmati Alam, Seni dan Budaya dalam AMAZING WEST JAVA!

7/09/2013

TUMPENG


Tumpeng saat ini makin lekat dalam kehidupan masyarakat. Sajian sederhana berbentuk kerucut berwarna kuning atau putih dengan beragam makanan pengiringnya ini telah sejak lama digunakan sebagai sajian wajib yang ada dalam berbagai acara yang mengundang banyak orang dari mulai syukuran ulang tahun, acara selamatan, peresmian sesuatu, sampai pada adat istiadat luhur yang diwujudkan dalam ritual upacara adat. 
Seiring berjalannya waktu masyarakat khususnya diperkotaan belum banyak mengetahui tentang apa yang mereka makan itu memiliki makna tersendiri. Bahan makanan yang diolah sedemikian rupa dalam balutan tampilan menarik merupakan persembahan manusia yang berasal dari alam yang diciptakan Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia. Maka dari itu, erat kaitannya antara alam, manusia dan Tuhan.
Keterkaitan antara ketiga unsur utama dalam kehidupan atau kosmologi manusia yakni alam, manusia dan langit tersebut membentuk sebuah segitiga yang bermakna luhur dan saling berhubungan. Semua unsur tersebut membentuk sebuah keharmonisan menuju satu hal, yakni Tuhan yang menciptakan tiga unsur utama tersebut. Segitiga menjadi dasar penyimbolan tumpeng yang berbentuk mengerucut keatas yang berarti menuju Tuhan. Hal tersebut menjadi sebuah simbol penghormatan kepada Tuhan bahwa manusia rendah di hadapan-Nya dan menempatkan Tuhan di atas segala-galanya. Walaupun demikian, Tuhan selalu ada dimana pun makhluknya berada. Oleh karena itu, tumpeng dijadikan sebuah sajian sakral oleh masyarakat, seperti dalam Upacara Wuku Taun di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Tumpeng yang disajikan dalam Upacara Wuku Taun bukan sekedar tumpeng biasa. Ada makna-makna tertentu seperti dari segi bentuk dan bahan. Bentuk mengerucut ke atas memiliki makna Ketuhanan seperti yang telah dijelaskan di atas. Bahan-bahan utamanya pun seperti tiga macam padi dan ayam kampung tidak terlepas dari pemaknaan yang berarti keaslian. Begitupun dengan makanan pengiring berupa tujuh jenis lauk-pauk dan 12 jenis makanan ringan yang berarti jumlah hari dan jumlah bulan dalam satu tahun, serta bermakna tanah air. Hal tersebut dikarenakan bahan-bahan dalam makanan pengiring ada yang berasal dari tanah serta air, seperti kentang, ikan, beras ketan dan lain sebagainya.
Kesakralan tumpeng dalam Upacara Wuku Taun dimulai dengan penyembelihan ayam kampung untuk tiga tumpeng utama (lulugu) yakni hayam hawuk, hayam hideung dan hayam bodas dengan ritual dan doa khusus oleh Juru Kunci Rumah Adat Cikondang. Begitupun dengan sekitar 150 ayam kampung lainnya untuk tumpeng pengiringnya. Sementara itu, tiga perempuan paruh baya sibuk dengan ritualnya sebelum membuat tumpeng, yakni didoakan oleh Juru Kunci dan mencuci beras untuk tumpeng, kemudian menanak nasi di dalam Rumah Adat Cikondang. Setelah jadi, tumpeng kemudian disimpan di tengah-tengah Rumah Adat dan dikelilingi oleh para sesepuh untuk didoakan guna mendapat berkah di tahun mendatang. Itulah bukti bahwa tumpeng dinilai sebagai sajian sakral.
Ritual menjadi sarana simbolisasi tumpeng guna memaknai rasa kebersyukuran tersebut. Masyarakat Kampung Cikondang masih memegang teguh adat istiadat yang oleh sebagian besar masyarakat sudah ditinggalkan. Masyarakat modern identik dengan hedonisme yang terkadang memandang sebuah makanan hanya dari segi untuk mengenyangkan perut. Padahal, bagi masyarakat adat, makanan merupakan sesuatu yang harus disyukuri karena menunjukkan kemakmuran dimana mereka tinggal.

Satu hal penting sebagai renungan masyarakat bahwa manusia hidup bergantung dari alam di sekitar mereka. Jika mereka merusak alam atau sistem kehidupannya, maka akan rusak pula kehidupan di dunia beserta adat istiadatnya

                                                                                                   
                                                                                             

No comments: