Tumpeng saat ini makin lekat dalam kehidupan
masyarakat. Sajian sederhana berbentuk kerucut berwarna kuning atau putih
dengan beragam makanan pengiringnya ini telah sejak lama digunakan sebagai
sajian wajib yang ada dalam berbagai acara yang mengundang banyak orang dari mulai syukuran ulang tahun, acara selamatan, peresmian sesuatu, sampai pada adat istiadat luhur yang diwujudkan dalam ritual upacara adat.
Seiring berjalannya waktu masyarakat khususnya diperkotaan belum banyak mengetahui tentang apa yang
mereka makan itu memiliki makna tersendiri. Bahan makanan yang diolah sedemikian
rupa dalam balutan tampilan menarik merupakan persembahan manusia yang berasal dari alam yang diciptakan Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia. Maka
dari itu, erat kaitannya antara alam, manusia dan Tuhan.
Keterkaitan antara ketiga unsur utama dalam
kehidupan atau kosmologi manusia yakni alam, manusia dan langit tersebut
membentuk sebuah segitiga yang bermakna luhur dan saling berhubungan. Semua
unsur tersebut membentuk sebuah keharmonisan menuju satu hal, yakni Tuhan yang
menciptakan tiga unsur utama tersebut. Segitiga menjadi dasar penyimbolan
tumpeng yang berbentuk mengerucut keatas yang berarti menuju Tuhan. Hal tersebut
menjadi sebuah simbol penghormatan kepada Tuhan bahwa manusia rendah di
hadapan-Nya dan menempatkan Tuhan di atas segala-galanya. Walaupun demikian,
Tuhan selalu ada dimana pun makhluknya berada. Oleh karena itu, tumpeng
dijadikan sebuah sajian sakral oleh masyarakat, seperti dalam Upacara Wuku
Taun di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat.
Tumpeng yang disajikan dalam Upacara Wuku Taun
bukan sekedar tumpeng biasa. Ada makna-makna tertentu seperti dari
segi bentuk dan bahan. Bentuk mengerucut ke atas memiliki makna Ketuhanan
seperti yang telah dijelaskan di atas. Bahan-bahan utamanya pun seperti tiga
macam padi dan ayam kampung tidak terlepas dari pemaknaan yang berarti
keaslian. Begitupun dengan makanan pengiring berupa tujuh jenis lauk-pauk dan
12 jenis makanan ringan yang berarti jumlah hari dan jumlah bulan dalam satu
tahun, serta bermakna tanah air. Hal tersebut dikarenakan bahan-bahan dalam
makanan pengiring ada yang berasal dari tanah serta air, seperti kentang, ikan,
beras ketan dan lain sebagainya.
Kesakralan tumpeng dalam Upacara Wuku Taun dimulai
dengan penyembelihan ayam kampung untuk tiga tumpeng utama (lulugu) yakni hayam hawuk, hayam hideung
dan hayam bodas dengan ritual dan doa
khusus oleh Juru Kunci Rumah Adat Cikondang. Begitupun dengan sekitar 150 ayam
kampung lainnya untuk tumpeng pengiringnya. Sementara itu, tiga perempuan paruh
baya sibuk dengan ritualnya sebelum membuat tumpeng, yakni didoakan oleh Juru
Kunci dan mencuci beras untuk tumpeng, kemudian menanak nasi di dalam Rumah
Adat Cikondang. Setelah jadi, tumpeng kemudian disimpan di tengah-tengah Rumah
Adat dan dikelilingi oleh para sesepuh
untuk didoakan guna mendapat berkah di tahun mendatang. Itulah bukti bahwa
tumpeng dinilai sebagai sajian sakral.
Ritual menjadi sarana simbolisasi tumpeng guna
memaknai rasa kebersyukuran tersebut. Masyarakat Kampung Cikondang masih
memegang teguh adat istiadat yang oleh sebagian besar masyarakat sudah
ditinggalkan. Masyarakat modern identik dengan hedonisme yang terkadang
memandang sebuah makanan hanya dari segi untuk mengenyangkan perut. Padahal,
bagi masyarakat adat, makanan merupakan sesuatu yang harus disyukuri karena
menunjukkan kemakmuran dimana mereka tinggal.
Satu hal penting sebagai renungan masyarakat bahwa
manusia hidup bergantung dari alam di sekitar mereka. Jika mereka merusak alam
atau sistem kehidupannya, maka akan rusak pula kehidupan di dunia beserta adat
istiadatnya
No comments:
Post a Comment