Catatanku kali
ini tentang dramaturgi penataan kamera yakni pengambilan gambar dalam
penciptaan karya film. Secara umum pengambilan gambar dalam penciptaan karya
film dapat dianggap sebagai suatu kerja mematerialisasikan realita yang ingin
difilmkan kedalam material perekam tahap awal karena masih akan diolah dalam
pasca produksi / proses editing. Hal ini
identik dengan bercerita melalui tataan – tataan gambar tentang realita cerita
yang ingin ditampilkan penulis scenario dan terutama sutradara.
Fungsi dari
pengambilan gambar dalam berbagai kerja perepresentasian adalah agar realita
yang ingin di filmkan dapat direkam kedalam material perekam seperti pita
seluloid atau perekam elektronis lainnya sehingga tersedia gambar – gambar
hasil perekaman yang selanjutnya dapat diolah dalam proses editing sebagai
kerja terakhir proses penciptaan karya film.
Beberapa kerja
yang paling utama yang dilakukan kameraman dalam produksi film diantaranya :
Secara teknikal,
aspek – aspek pengambilan gambar dalam pembuatan karya – karya film adalah
aspek – aspek yang meliputi :
Ketiga aspek
teknikal tersebut tentunya tidak dilakukan secara sembarang, namun akan
dipertimbangkan yang terbaik dengan memperhatikan aspek kontekstual yakni :
Aspek ketepatan
untuk memunculkan suasana atau atmosfer tertentu dalam gambar tentunya sesuai
tuntutan scenario.
Jadi secara umum
pengambilan gambar yang baik dalam sebuah pembuatan karya film adalah
pengambilan gambar yang sanggup menyodorkan / menampilkan realita dramatik film
yang estetis dan komunikatif yakni merepresentasikan secara tepat dan kreatif
berdasarkan realita yang ingin direpresentasikan oleh penulis skenario dan
sutradara yang tentunya kaya akan kesan dan makna yang sulit untuk dilupakan.
Teguh karya,
Sutradara kenamaan Indonesia pernah berujar “Don’t tell me but show me”. Ya film adalah bahasa gambar sehingga
apa yang ingin disampaikan seorang sineas, tunjukanlah melalui gambar yang baik
tentunya.
No comments:
Post a Comment